Terbentuknya jemaat bukit moria hingga masa perang dunia ke II (1920-1944
Sejak Terbentuknya Jemaat Bukit Moria Hingga Masa Perang Dunia Ke Ii Tahun 1944, Tercatat Sudah Kurang Lebih 3 Kali Gedung Gereja Di Bangun Walaupun Dalam Keadaannya Yang Masih Darurat. Gedung Gereja Bukit Moria Pertama Kali Dibangun Di Atas Lahan Ibu Penina Huragana, namun hal tersebut tidak berlangsung lama karena atas kesepakatan bersama dari anggota jemaat gedung gereja di pindahkan kembali ke lahan bapak Apolos Leaua dan Benci Leaua, tempat tersebut bukan hanya dipakai sebagai tempat beribadah namun juga di jadikan sebagai pusat pendidikan anak-anak pada masa itu. Seiring waktu berjalan pembangunan Gedung Gereja Bukit Moria kembali di pindahkan ke lokasi gedung gereja yang saat ini menjadi lokasi rumah pastori dan gedung pemuda. Pembangunan gereja kali ini jauh lebih baik dan lebih kuat dari pada sebelumnya karena dasarnya menggunakan fondasi beton, walaupun pembuatannya masih menggunakan alat alat tukang yang sederhana dan seadanya seperti kapak dan semarang, namun pembangunannya dapat di nilai jauh lebih baik dari pada sebelumnya. Akhirnya pada tahun 1920 gedung gereja tersebut ditahbiskan dan diresmikan menjadi tempat beribah anggota jemaat secara efektif, keadaan yang penuh suka dan damai tersebut berlangsung kurang lebih 23 tahun yakni antara tahun 1920 – 1943. Memasuki tahun 1944 jemaat kembali diperhadapkan dengan peristiwa yang memilukan akibat dari perang dunia ke II, gedung gereja yang telah di tahbiskan dan diresmikan menjadi tempat ibadah umat kembali hancur di bom bardir oleh sekutu dan di bongkar oleh jepang. Situasi tersebut membuat anggota jemaat mengungsi ke hutan dan membangun sebuah perkampungan kecil di tengah hutan, di sela-sela ketakutan dan kekuatiran jemaat kembali bersatu membangun gereja darurat yang terbuat dari bambu untuk tempat ibadah.
Menjelang tahun 1968 terjadi perubahan dalam struktur pekerjaan, tetapi hal tersebut tidak menghambat proses pekerjaan yang sedang berjalan, sebab dengan semangatnya anggota jemaat yang telah terbagi dalam kelompok-kelompok pekerjaan secara giat terus menjalankan pekerjaan mereka dibawah kepemimpinan Elisa Unggu yang saat itu sudah mulai sakit-sakitan karena pengaruh usia. Akhirnya dengan berkat dan bimbingan dari sang kepala Gereja Yesus Kristus, tepat tanggal 31 Oktober 1968 Gedung Gereja secara resmi ditahbiskan oleh Pdt C Rai Rai dengan nama Bukit Moria.
Untuk mempercepat pelaksanaan kesepakatan yang ada maka pekerjaan dibagi dalam 3 tahap berdasarkan urutan keputusan rapat. Dengan demikian maka pada bulan januari 1982 pekerjaan tersebut dimulai dengan merehab atab gereja dan memperbesar ruangan konsistori, pekerjaan ini pimpin langsung oleh bapak Yafet Kitong dengan rekan kerjanya bapak Daud Hingaro, Abner Kitong, Markus Tadjibu, Apolos Leaua, dan Hans Kitong. Atas kerjasama dan sikap bahu membahu dari umat maka pekerjaan ini dapat diselesaikan pada bulan juni 1984. Setahun kemudian yakni tahun 1985 pekerjaan tahap 2 mulai dilakukan yang ditandai dengan peletakan batu pertama depan gereja sebelah kiri. Pekerjaan tersebut dipercayakan kepada bapak Yulipson dan rekan kerjanya bapak Kleng Damo serta dibantu oleh seluruh anggota jemaat sehingga pada pada tahun itu juga pekerjaan bisa diselesaikan dengan baik. Setelah pekerjaan tahap dua diselesaikan umat kembali diperhadapkan dengan pekerjaan yang terakhir yakni mengubah plafon gereja, dan atas perkenan Tuhan tepat tanggal 31 Oktober 1989 seluruh pekerjaan renovasi gedung gereja dapat terselesaikan dengan baik